Manakib KH. Abdul Manan Dipomenggolo




KH Abdul Manan Dipomenggolo

1) Ulama Pelopor dari Pacitan

KH. Abdul Manan Dipomenggolo sebagai Ulama
KH. Muhammad Habib, dalam bukunya Mengenal Pondok Tremas dan Perkembanganya, menulis bahwa riwayat KH. Abdul Manan Dipomenggolo diketahui saat beliau menimba ilmu di Pesantren Tegalsari Ponorogo, kira-kira dimulai pada 1820-an. KH. Abdul Manan Dipomenggolo yang mempunyai nama kecil Raden Bagus Darso adalah putra dari Raden Ngabehi Dipomenggolo.
Secara nasab, KH Abdul Manan Dipomenggolo berasal dari keluarga salah satu ningrat. Hal ini bisa ditelusuri lebih jauh keatas dari silsilah yang dimiliki oleh keluarga besar Pondok Tremas Pacitan dan Pondok Kikil sebagai dzuriyyah atau keturunan langsung KH Abdul Manan Dipomenggolo.
Ningrat adalah suatu gelar yang diberikan kepada seseorang atau golongan tertentu yang merupakan pewaris tahta kerajaan di jawa. Ningrat merupakan istilah lain dari “darah biru” yaitu seseorang yang masih memiliki hubungan saudara dengan seorang raja jawa. Salah satu ciri ningrat adalah terlihatnya sikap ksatria dan keberanian, serta kegagahan dalam diri seorang pria, dan nampaknya adab halus dan keanggunan, bagi seorang wanita. contoh macam nama gelar orang ningrat salah satunya adalah sebutan Raden. Nah, KH Abdul Manan Dipomenggolo, oleh masyarakat Pacitan dikenal dengan sebutan Raden Bagus Darso.
Raden Bagus Darso merupakan putera dari salah seorang tokoh yang sangat dihormati di daerah Semanten Pacitan. Ayahnya bernama Raden Ngabehi Dipomenggolo. Tidak diketahui pasti tanggal, bulan, dan tahun berapa Raden Bagus Darso dilahirkan, namun diperkirakan Raden Bagus Darso dilahirkan pada tahun 1800-an. Minimnya data tentang tanggal lahir Raden Bagus Darso membuat Ibunda Raden Bagus Darso tidak diketahui pasti siapa namanya. Namun yang jelas Raden Bagus Darso dilahirkan dari keluarga darah biru yang agamis.
Sementara itu Raden Ngabehi Dipomenggolo merupakan putera dari Kiai Ageng Setroyudo. Bila ditelusuri ke atas lagi, nasabnya akan sampai kepada Kiai Ampok Boyo, kemudian kepada Raden Joko Puring, hingga terakhir kepada Brawijaya ke V. Inilah kenapa pada nama Bagus Darso diawali dengan kata “Raden”, yang dapat dipersepsikan bahwa Raden Bagus Darso berasal dari keluarga yang memiliki nasab yang baik dan dari keluarga terpandang kala itu.
Namun belum diketahui secara pasti ikhwal, kapan dan siapa yang menyusun catatan tentang nasab KH. Abdul Manan Dipomenggolo itu. Namun catatan ini kemungkinan besar sudah ditashih oleh para sesepuh terdahulu, dan keberadaanya telah diakui oleh keluarga. Seperti kebanyakan remaja kala itu, Raden Bagus Darso sejak kecil mendapatkan pedidikan dari ayahnya sendiri. Beliau dididik dan dikader oleh ayahnya agar kelak dapat menjadi tokoh yang berguna untuk agama dan masyarakatnya, maka Raden Ngabehi Dipomenggolo kemudian mengirim Raden Bagus Darso untuk nyantri kepada salah seorang ulama besar yang keilmuanya diakui oleh zamannya, yakni KH. Hasan Besari di Pesantren Tegalsari, Jetis Ponorogo, Jawa Timur.
Pesantren Tegalsari adalah salah satu pesantren bersejarah di Indonesia. Pesantren ini terletak di Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo pada abad ke-18 sampai abad ke-19. Pesantren ini didirikan oleh Kiai Ageng Hasan Besari. Pesantren ini memiliki ribuan santri berasal dari seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Di antara santri-santrinya yang terkenal adalah Pakubuwono II penguasa Kerajaan Kartasura, Raden Ngabehi Ronggowarsito seorang pujangga Jawa yang masyhur dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto. Raden Bagus Darso nyantri kepada KH. Hasan Besari selama beberapa tahun lamanya. Selama menjadi santri, Raden Bagus Darso berteman dan kerap berdiskusi dengan Ronggowarsito, yang kelak kemudian dikenal sebagai pujangga itu. Di bawah asuhan Kiai Hasan Besari, Raden Bagus Darso kerap mendapatkan perhatian dan bimbingan khusus dari kiainya itu. Hal ini sangat beralasan karena Raden Bagus Darso merupakan putera dari salah seorang tokoh yang sangat dihormati di daerah Wengker Selatan (sekarang Pacitan). Selain itu, Raden Bagus Darso ketika nyantri juga termasuk santri yang sangat tekun, khususnya tekun dalam mempelajari ilmu agama Islam. Raden Bagus Darso dikenal suka melakun riyadhah atau lelaku khusus, namun hal ini belum diketahui jelas, amalan apa yang sering dilakukan oleh Raden Bagus Darso sehingga kelak beliau menjadi seorang ulama yang hebat.
Perhatian yang diberikan oleh KH. Hasan Besari kepada Raden Bagus Darso bermula saat suatu malam yang dingin, di mana waktu itu para santri Pondok Tegalsari sedang tidur pulas. Sebagaimana biasanya KH. Hasan Besari keluar untuk sekedar menjenguk anak-anak didiknya yang sedang tidur di asrama maupun di serambi masjid.
Pada waktu beliau memeriksa serambi masjid yang penuh ditiduri oleh para santri itu, tiba-tiba pandangan kiai tertumbuk pada suatu pemandangan aneh berupa cahaya yang bersinar, dalam hati beliau bertanya, apakah gerangan cahaya aneh itu. Kalau cahaya kunang tentu tidak demikian, apalagi cahaya api tentu tidak mungkin, sebab cahaya ini mempunyai kelainan. Kemudian dengan hati-hati, agar tidak sampai para santri yang sedang tidur, kiai mendekati cahaya aneh itu. Makin dekat dengan cahaya aneh tersebut keheranan kiai bertambah, sebab cahaya itu semakin menunjukkan tanda-tanda yang aneh. Dan kemudian apa yang disaksikan kiai adalah suatu pemandangan yang sungguh luar biasa, sebab cahaya itu keluar dari ubun-ubun salah satu santrinya. Kemudian diperiksanya siapakah sesungguhnya santri yang mendapat anugerah itu.Tetapi kegelapan malam dan pandangan mata yang sudah kabur terbawa usia lanjut menyebabkan usaha beliau gagal. Namun KH. Hasan Besari tidak kehilangan akal, dengan hati-hati sekali ujung ikat kepala santri itu diikat sebagai tanda untuk mengetahui besok pagi kalau hari sudah mulai terang.
Esoknya sehabis sembahyang Subuh, para santri yang tidur di serambi masjid disuruh menghadap beliau. Setelah mereka menghadap, dipandangnya satu demi satu santri tersebut dengan tidak lupa memperhatikan ikat kepala masing-masing. Di sinilah beliau mengetahui bahwa sinar aneh yang semalam keluar dari ubun-ubun salah satu santrinya berasal dari salah satu santri muda pantai selatan (Pacitan) yang tidak lain adalah Raden Bagus Darso. Dan semenjak itu perhatian KH Hasan Besari dalam mendidik Bagus Darso semakin bertambah, sebab beliau merasa mendapat amanat untuk mendidik seorang anak yang kelak kemudian hari akan menjadi pemuka dan pemimpin umat.
Kemungkinan besar, nama Raden Bagus Darso yang kemudian hari berganti nama menjadi KH. Abdul Manan merupakan pemberian langsung dari KH. Hasan Besari sendiri sebagai wujud cinta KH Hasan Besari kepada santrinya itu. Setelah lama mengembara ilmu agama pada KH. Hasan Besari, Raden Bagus Darso kemudian pulang ke tanah kelahiranya di Semanten Pacitan dan mendirikan pesantren di sana pada tahun 1830 M. Dan sejak saat itu, Raden Bagus Darso dikenal dengan nama KH. Abdul Manan Dipomenggolo.
Pada awalnya pondok yang didirikan di Semanten merupakan pesantren yang kecil yang santrinya hanya berasal dari lingkungan Desa Semanten dan Pacitan. Berkat kerja keras, doa, dan kealiman dan keikhlasannya, maka lambat laut jumlah santrinya meningkat dengan pesat.
Usaha pertama kali yang dilakukan untuk membangun tempat pengajian sudah barang tentu mendirikan sebuah masjid (terletak agak ke sebelah timur dari masjid yang sekarang). Dan setelah santri-santri dari jauh yang sebagian berasal dari bekas santri-santrinya di Semanten mulai berdatangan, maka dibangunlah sebuah asrama pondok di sebelah selatan masjid. Sudah barang tentu keadaan masjid dan asrama pondok pada waktu itu masih sangat sederhana sekali, atapnya masih menggunakan daun ilalang dan kerangka lainnya masih banyak yang menggunakan bahan dari bambu. Kemudian tidak lama setelah itu, KH. Abdul Manan Dipomenggolo menikah dengan puteri Demang Tremas yang bernama Raden Ngabehi Honggowijoyo. Lagi-lagi tidak ada catatan, siapa nama isteri dari KH. Abdul Manan Dipomenggolo tersebut. Setelah menikah itulah, KH. Abdul Manan Dipomenggolo diberi sebidang tanah oleh mertuanya untuk dijadikan sebagai tempat menyebarkan ilmunya, dan hingga saat ini kita kenal pesantren yang didirikan oleh beliua dikenal dengan nama Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan.
Adapun pengajian-pengajian pada awal berdirinya Pondok Tremas masih belum banyak berbeda dengan pengajian pada masa pondok masih terletak di Semanten, yang antara lain, pasholatan, ilmu tauhid, fikih, tafsir dan lain-lain. Jadi karena Pondok Tremas pada waktu itu masih dalam taraf permulaan dan santrinya juga belum sebanyak pada periode sesudahnya, maka kitab-kitab yang dipakainya juga masih dalam tingkatan dasar. Dalam membina pesantren, KH. Abdul Manan Dipomenggolo dibantu oleh isteri tercintanya, hingga KH Abdul Manan Dipomenggolo mempunyai beberapa putra-putri yang membanggakan, yang kelak akan meneruskan perjuanganya dalam membina pesantren.
Setelah lama mengembangkan pesantren, maka KH. Abdul Manan Dipomenggolo kemudian melaksanakan salah satu rukun Islam, dengan menunaikan ibadah haji. KH. Abdul Manan Dipomenggolo menunaikan ibadah haji dan sekaligus meneruskan belajar ilmu agamanya di Universitas al Azhar, Kairo, Mesir
(2) Generasi Awal Pelajar Indonesia di al Azhar Mesir
Dalam buku Jauh dimata Dekat di Hati Potret Hubungan Indonesia-Mesirterbitan KBRI Cairo 2010, disebutkan  bahwa  pada tahun 1850-an di al Azhar telah dijumpai komunitas orang Indonesia. Salah satu orang pertama Indonesi yang tinggal di Mesir adalah  KH Abdul Manan Dipomenggolo  Tremas (Kakek dari Syaikh Mahfudz Attarmasi). Hal itu terbukti dengan adanya Ruwak (hunian) yang bernama Ruwak Jawi, di masjid al Azhar. Di masjid ini ada 4 Ruwak yang masih ada, Ruwak JawiRuwak Atrak ( Turki), Ruwak Syami  (Suria) dan Ruwak  Maghoribah (Maroko).
Beliau tinggal di Mesir sekitar tahun 1850 M, selama di Mesir beliau berguru dengan  Grand Syaikh (Jabatan di atas Rektor) Ibrahim Al Bajuri, yaitu Grand Syaikh ke-19.  Jadi wajar saja kalau tahun 1860-an di Indonesia sudah ditemukan kitab Fath al-Mubin syarah dari kitab Umm al-Barahin yang merupakan kitab karangan Grand Syaikh  Ibrahim Bajuri. (keterangan ini diambil pada buku karangan Martin Van Bruinessen, seorang orientalis yang lahir di  Schoonhoven, Utrecht, Belanda). Nama KH. Abdul Manan Dipomenggolo  tercatat di buku tersebut dan merupakan dokumen resmi milik Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Mesir. Yang sangat menarik untuk direnungkan disini adalah, bagaimana cara dan usaha KH. Abdul Manan Dipomenggolo hingga dapat mengenyam pendidikan di al Azhar Kairo Mesir. Padahal bila kita gali lebih mendalam, zaman KH. Abdul Manan Dipomenggolo masih dalam masa penjajahan Kolonial Belanda. Bagaimana bisa seorang santri Pacitan, dari daerah yang sangat tertinggal dan jauh dari pusat peradaban, mampu belajar hingga ke Universitas al Azhar Mesir. Kalau bukan karena kesungguhan dan kegigihan KH. Abdul Manan Dipomenggolo untuk membangun peradaban pesantren di Indonesia, Pacitan khususnya, tidak mungkin KH. Abdul Manan Dipomenggolo dapat belajar hingga ke luar negeri.
Pengembaraan KH Abdul Manan Dipomengolo dalam menuntut ilmu di Timur Tengah kelak diikuti oleh generasi selanjutnya, yaitu KH Abdullah (Putra KH Abdul Manan Dipomengolo), Syaikh Mahfudz Attarmasi, KH Dimyathi Tremas, KH Dahlan al-Falaki Tremas (ketiganya kakak beradik, putra KH Abdullah) yang menuntut ilmu di Makkah. KH Abdul Manan Dipomengolo telah berhasil meletakkan batu landasan sebagai pangkal berpijak ke arah kemajuan dan kebesaran, serta keharuman pondok pesantren di Nusantara. Kegigihannya dalam mendidik putra-putranya sehingga menjadi ulama-ulama yang tidak saja menguasai kitab-kitab yang dibaca, lebih dari itu, juga berhasil menyusun berbagai macam kitab dan memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan dunia Islam, seperti Syaikh Mahfudz, seorang ulama besar Nusantara, Malaysia, dan Thailand yang pernah menjadi imam Masjidil Haram dan pemegang sanad ShahihBukhari-Muslim.
Dalam kitab al Ulama’ al Mujaddidun,KH. Maimoen Zubair Sarang, Rembang, menyebut bahwa KH Abdul Manan Dipomenggolo merupakan salah seorang ulama Ahlussunnah Wal Jamaah yang pertama kali membawa, mengaji, dan mempopulerkan kitab Ithaf Sadat al Muttaqin, yaitu syarah dari kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Kitab ini merupakan kitab tasawuf yang sangat mendalam.
Melihat kegigihan dan kesungguhan serta riwayat pendidikan yang ditempuh oleh KH. Abdul Manan Dipomenggolo, maka tidak bisa diragukan lagi keluasan ilmu yang telah diperolehnya. Sanad keilmuan yang diperoleh KH. Abdul Manan Dipomenggolo, kesemuanya bersambung hingga kepada Rasulullah SAW, sehingga beliau dikenal sebagai Kiai yang alim dalam berbagai bidang, utamanya ilmu tasawwuf.
KH Abdul Manan Dipomenggolo, Sebagai Peretas Jejaring Ulama Nusantara
Sepulang dari tanah suci dan Mesir, KH. Abdul Manan Dipomenggolo kemudian kembali meneruskan perjuangan merawat pesantren dan berkumpul keluarga dan mendidik putra-putrinya. Putra-putrinya inilah yang kemudian akan membangun peradaban pesantren yang telah dirintis oleh KH. Abdul Manan Dipomenggolo pada tahun 1830 M. Peradaban Pesantren Tremas dan Pesantren Kikil, yang keduanya merupakan warisan yang sangat besar dan berharga peninggalan KH. Abdul Manan Dipomenggolo.
KH Abdul Manan Dipomenggolo memiliki lima orang putra, yakni Kiai Mirah Besari, Kiai Mirah Misbah, Kiai Mirah Ibrahim, Kiai Abdullah, dan Kiai Athoillah. Kelima putranya ini, kelak akan menyebar dan ikut berperan dalam merawat peninggalan KH. Abdul Manan Dipomenggolo, yakni peradaban pesantren.
Lagi-lagi sejarah mencatat, KH. Abdul Manan Dipomenggolo  merupakan salah satu ulama yang menjadi salah satu pionir terbentuknya jaringan ulama Nusantara, karena dari beliaulah lahir beberapa generasi yang membanggakan dan mempunyai reputasi yang sangat baik dalam dunia Islam. Salah satu putranya adalah Kiai Abdullah, yang memiliki keturunan beranama Syaikh Mahfudz Attarmasi yang kelak menelurkan para ulama, di antaranya KH. Hasyim As’ari, KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri. Kelak ketiganya dikenal sebagai pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama pada  tahun 1926.
Untuk menegaskan prisip dasar Jam’iyyah NU ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan nahdliyin dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. Ketiga kiai ini merupakan murid Syaikh Mahfud yang paling terkenal karena keilmuan dan kiprahnya di Indonesia. Ulama-ulama tersebut telah berhasil membangun jaringan ulama Indonesia yang menjahit keterikatan hubungan antara guru-murid,  yang di kemudian hari membangun Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yang memiliki kontribusi penting bagi terbangunnya pergerakan nasional menegakkan Bangsa dan Negara Indonesia.
Syaikh Mahfudz Attarmasi memang pantas untuk dikagumi, apalagi bagi kalangan ahlu al isnad, yang mengatahui dari siapa saja beliau memperoleh ilmu dan dari kitab apa saja. Tidak hanya dalam bidang hadis saja, untuk kitab-kitab tafsir, fikih, qira’at, nahwu-sharaf, akhlak-tasawuf, bahkan sampai amalan dzikir, semuanya berasal dari para ulama yang memilki sanad bersambung hingga penulis kitab-kitab tersebut.
Tidak berlebihan kiranya bahwa banyak yang mengakui sanad keilmuan ulama Indonesia banyak yang diperoleh dari ulama asal Pondok Tremas Pacitan Jawa Timur ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Kalau tidak karena KH Abdul Manan Dipomenggolo, maka tidak akan pernah lahir tokoh seperti Kiai Abdullah, Syakh Mahfudz, Kiai Dimyathi, Kiai Ali Murtadho, dan tokoh-tokoh lainya yang mengembangkan Pondok Tremas dan Pesantren Kikil”.
Sumber:
[ Dari Internet ]


Komentar

Postingan Populer